ASAL MULA TANJUNG LESUNG
Cerita rakyat Asal Mula Tanjung Lesung diambil dari Kumpulan Legenda
Rakyat daerah Banten. Legenda rakyat Banten ini menceritakan bagaimana
awal mula suatu daerah di Banten yang
merupakan sebuah Tanjung disebut menjadi Tanjung Lesung. Pada blog
dongengceritarakyat.com cukup banyak kumpulan legenda rakyat yang bisa
diambil beberapa diantaranya adalah Cerita Rakyat Indonesia Paling Populer Dari Pulau Jawa dan Kumpulan Cerita Rakyat Legenda
Nusantara Terpopuler. Sebenarnya masih banyak lagi kisah legenda yang
bisa ditemukan, silahkan pengunjung mencarinya menggunakan menu
pencarian yang telah kami sediakan.
Kumpulan Legenda Rakyat : Cerita Asal Mula Tanjung Lesung
Alkisah
hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia dipercaya berasal
dari Laut Selatan. Suatu ketika Raden Budog bermimpi bertemu dengan
seorang gadis. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat
terpesona dan langsung jatuh hati. Ia lalu memutuskan untuk kembali
mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu.
Dengan
menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah utara. Anjing
miliknya turut pula menemani kepergiannya. Mereka terus menuju arah
utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat itu pelana Raden Budog
robek hingga ia tidak lagi menunggung kuda. Raden Budog menuntun kudanya
dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog. Mereka
akhirnya tiba di pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang
melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.
Setelah
puas mandi dan membersihkan dirinya, Raden Budog berniat melanjutkan
perjalanannya kembali. Diajaknya kuda dan anjingnya itu untuk kembali
berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia kepadanya itu
seperti enggan meninggalkan pantai Cawar. Keduanya hanya terdiam dan
tidak menuruti perintah Raden Budog. Setelah berulang-ulang ajakannya
tidak dipatuhi kuda dan anjingnya, Raden Budog pun menjadi marah.
Dikutuknya dua hewan itu menjadi batu karang.
Kutukan Raden Budog mewujud dalam kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di pantai Cawar.
Raden
Budog meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Dilewatinya
berbagai hambatan dan rintangan yang ditemuinya di tengah perjalanan.
Tibalah ia kemudian di sebuah desa setelah melewati sungai yang meluap
airnya karena banjir.
Syahdan, di desa yang didatangi Raden Budog
itu berdiam seorang janda bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang anak
perempuan yang sangat cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.
Sri
Poh Haci setiap hari menumbuk padi dengan menggunakan antan dan lesung.
Antan itu dipukulkannya ke lesung hingga menghasilkan irama tertentu
yang terdengar merdu di telinga. Tindakan Sri Poh Haci itu mengundang
anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka beramai-ramai
menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh Haci. Anak-anak
perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin hingga akhirnya
tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri nama ngagondang.
Warga desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum mereka menanam
padi, mereka mendahuluinya dengan permainan ngagondang terlebih dahulu.
Namun demikian mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak bermain
ngagondang pada hari Jum'at.
Ketika Raden Budog tiba di desa itu
kebetulan permainan ngagondang tengah dilakukan. Raden Budog sangat
tertarik ketika mendengarnya. Ia pun datang mendekat. Terbelalaklah ia
ketika melihat salah seorang pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip
dengan wajah perempuan yang dilihatnya dalam impiannya. Perempuan itu
tidak lain Sri Poh Haci adanya.
Raden Budog lantas mendatangi
rumah Sri Poh Haci dan berkenalan dengan perempuan berwajah cantik
jelita itu. Diungkapkannya cintanya pada Sri Poh Haci. Ketika Sri Poh
Had juga menyatakan cinta pada Raden Budog, Raden Budog lalu mendatangi
Nyi Siti untuk melamar Sri Poh Haci.
Raden Budog dan Sri Poh Haci
menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan secara sederhana. Segenap warga
desa datang menghadiri dan turut bergembira atas berlangsungnya
pernikahan itu. Raden Budog kemudian tinggal di desa itu.
Setelah
menikah, Sri Poh Haci tetap memimpin ngagondang. Suaminya tidak hanya
memperbolehkannya, melainkan turut pula dalam permainan memukul antan
pada lesung secara berirama itu. Bahkan, Raden Budog sangat menggemari
permainan tersebut hingga ia serasa tidak mengenal waktu untuk
memainkannya. Serasa setiap saat ia asyik ngagondang. Ia tetap nekat
bermain meski istri, mertua, maupun orang-orang lain telah
mengingatkannya. Telinganya seperti telah tersumbat hingga tidak
mendengarkan peringatan orang lain.
Raden Budog benar-benar keras
kepala, sulit untuk dinasihati. Ketika hari Jum'at tiba, Sri Poh Haci
mengingatkan suaminya, "Suamiku, hari Jum'at adalah hari yang
dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak ngagondang dahulu."
Raden
Budog hanya terdiam, meski demikian keinginannya untuk memainkan alu
pada lesung untuk menimbulkan irama tidak bisa dicegahnya.
Nyi
Siti khawatir juga pada menantunya itu. Nyi Siti juga mengingatkan
Raden Budog untuk tidak ngagondang pada hari Jum'at itu. Bahkan, sesepuh
desa turut pula mengingatkan Raden Budog. "Hendaklah engkau menghormati
adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita ini. Engkau boleh
ngagondang pada hari-hari lain, namun jangan engkau lakukan pada hari
Jum'at. Hari Jum'at adalah hari pantangan bagi warga desa untuk
ngagondang. Semoga menjadi pantangan pula bagimu untuk bermain
ngagondang pada hari Jum'at ini:'
Meski telah banyak orang yang
mengingatkannya, Raden Budog ternyata tetap bersikeras untuk ngagondang.
Peringatan istri, mertua, dan bahkan sesepuh desa sama sekali tidak
dianggapnya. Baginya, tidak ada pantangan baginya untuk memuaskan
kesenangannya memainkan antan pada lesung. Hari apapun adalah hari bebas
baginya untuk ngagondang.
Hari Jum'at itu Raden Budog tetap
ngagondang. Ia tidak peduli meski hanya bermain sendirian. Ia bahkan
kian bersemangat dengan melompat-lompat ketika memukulkan antan pada
lesung. Ia berharap orang-orang akan datang dan turut bermain
bersamanya. Orang-orang hanya memandangnya dengan keheranan dan Raden
Budog terus bertambah semangatnya untuk bermain. Ia meloncat ke sana dan
ke sini ketika bermain. Wajahnya begitu gembira seolah sangat puas
dapat bermain ngagondang pada hari Jum'at yang dikeramatkan itu.
Keanehan pun terjadi ...
Anak-anak
desa berdatangan ke tempat Raden Budog bermain ngagondang. Mereka
sangat terheran-heran melihat pemandangan aneh yang terjadi di hadapan
mereka. Dalam pandangan mereka, bukan Raden Budog yang tengah bermain
ngagondang, melainkan seekor lutung!
"Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!" teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.
Raden
Budog yang tidak menyadari jika dirinya telah berubah menjadi lutung
terus memainkan antan pada lesung. Kian bersemangat ia bermain karena
menyangka anak-anak itu terpesona pada permainannya.
Kejadian
mengherankan itu cepat menyebar. Warga desa berdatangan ke tempat Raden
Budog tengah bermain ngagondang itu. Benar-benar mereka terheran-heran
mendapati seekor lutung tengah bermain lesung seraya melompat-lompat
penuh suka cita.
"Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!"
Teriakan
beramai-ramai itu tak urung membuat Raden Budog terkejut. Sejenak
dihentikannya permainannya dan ditatapnya orang-orang. Masih didengarnya
ada warga desa yang menyatakan ada lutung bermain lesung.
Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang bermain ngagondang
di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang
itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?
Terperanjatlah
Raden Budog ketika mengamati dirinya. Kedua tangannya berbulu amat lebat
berwarna hitam laksana bulu lutung! Begitu pula dengan bulu-bulu lebat
berwarna hitam di kedua kakinya. Dirabanya wajahnya, penuh dengan bulu
lebat berwarna hitam pula. Begitu pula dengan tubuhnya. Kian lengkaplah
keterkejutannya ketika mendapati sebuah ekor panjang berbulu hitam
keluar dari bagian belakang tubuhnya.
Raden Budog telah utuh berubah menjadi lutung!
Setelah
mendapati dirinya berubah menjadi lutung, Raden Budog segera berlari
dari tempat itu. Ia sangat malu. Dengan gerakan gesit, lutung jelmaan
Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan memanjatnya sangat cepat.
Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan serta berlompatan
dari satu pohon ke pohon lainnya.
"Lutung Kasarung! Lutung
Kasarung!" teriak warga ketika melihat lutung jelmaan Raden Budog itu
berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Teriakan-teriakan
itu kian membuat malu Raden Budog hingga ia terus berusaha menjauh dari
desa itu sejauh jauhnya.Ia memasuki hutan dan terus bergerak menuju
tengah hutan. Ia pun memutuskan untuk tinggal di tengah hutan itu untuk
seterusnya.
Sri Poh Haci sangat sedih mendapati kenyataan itu.
Suaminya telah berubah menjadi seekor lutung. Ia serasa tidak mempunyai
keberanian lagi untuk tinggal di desanya. Secara diam-diam ia pun
meninggalkan desa kediamannya itu. Entah kemana istri Raden Budog itu
pergi, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun tidak
mengetahuinya. Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi
Padi.
Desa di mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan
lagi mengejutkan itu kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya
berada di sebuah tanjung, desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.
Pesan
moral dari kumpulan legenda rakyat : asal mula tanjung lesung adalah
kita hendaknya mematuhi dan menghormati adat istiadat yang berlaku di
suatu daerah. Seperti makna peribahasa di mana tanah dipijak, di situ
langit dijunjung, yang berarti di mana pun juga kita berada atau
bertempat tinggal, hendaklah kita menuruti adat istiadat dan kebiasaan
yang berlaku di daerah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar